Kamis, 14 Januari 2010

dakwah tentang muhammdaiyah

BAB 1
PENDAHULUAN

A.latar belakang

Muhammadiyah didirikan oleh K.H.A dahlan pada tahun 1912 yg bertujuan untuk beramar makruf nahi mungkar yg pada zaman dulu umat islam mengalami istilah zaman jahiliyah di akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20 dan oleh kiyai dahlan berjuang keras untuk menyiarkan agama islam di bumi pertiwi tercinta. beliau dilahirkan di yogyakarta dan beliau dulu diberi nama Muhammad darwisy ketika dewasa beliau naik haji dan menetap untuk mencari ilmu di mekah . beliau banyak melihat pemikir –pemikir islam yg cendikiwan dan itu membuat kiyai dahlan membuka pikiran untuk meluruskan pikiran umat islam yg lagi terbawa hawa nafsu yg berkedok agama islam dan itu juga didasarkan firman allah yg berbunyi:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkarvmerekalah orang-orang yang beruntung.

Dan oleh karena itu beliau merubah namanya menjadi K.H.A dahlan dan pulang tanah air dan beliau mendirikan sekolah yg menggabungkan sistim ponddok pesantren dgn sekolah umum yg itu membuat umat islam menjadi unggul dalam agama serta ilmu pengetahuan umum dan menjadi kader ,ulama dan zuama . baik bagi persyarikatan ,bangsa dan Negara tetapi ditengah tengah perjalanan beliau banyak mendapat tantangan dari ulama –ulama kauaman hingga sri sultan hamengku buwono sendiri gara –gara merubah arah kiblat kauman yg salah menurut K.H.A dahlan tapi didalam pertentangan itu akhirnya muhammadiyah bias berkembang hingga sekarang tetapi perjuangan muhammadiya belum usai masih banyak tantangan tersendiri bannyaknya jemaah –jemaah sesat mulai dari ahmadiyah ,lia aminudin dan terorisme yg berkedok islam sampai masalah Negara republic Indonesia dan juga dakwah umat islam mulai menurun
Banyak generasi muda yg terjerumus dalam nikmatnya duni fana ini .dan saya berpikir untuk memberi judul PERJUANGAN MUHAMMADIYAH DITENGAH PENJAJAHAN BELANDA
Agar muhammadiyah mengetahui gerakan muhammadiyah
Agar mecintai organisasi muhammadiyah
Agar warga muhammadiyah tahu tentang sejarah muhammadiyah




BAB 2
PEMBAHASAN


1.Muhammadiyah dulu Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh
kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga
kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan
restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual,
priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati
terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk
kolonial sekaligus produk orang kafir.

Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi
yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam
masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam,
mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan
identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.

Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial,
maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu
yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang
menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen
itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal
masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat
berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk
pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki
orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab,
dan India.

Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap
sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling
rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang
Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh
terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan
ekonomi, politik, dan sosial.

Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor
pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan transportasi
mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah
sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah
menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula,
tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di daerah pedesaan
telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.

Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk sepanjang
abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas
ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun
perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara
struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap
rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan
pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi
ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.

Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang
semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan
produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal,
sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang
asing yang terus mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun
internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa
tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah
berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun
dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang
tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingkat lokal, kontrol yang
ketat pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.

Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang
difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan
sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas
kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa
sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi
penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja
masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi
secara keseluruhan.

Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk
pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah,
sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih
sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk
selain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi
sikap antipati dari kelompok Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat
pribumi terhadap pendidikan Barat itu sendiri.

Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren,
atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan
pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara
memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari
pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal
maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor
penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama
Islam.

Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara
terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional
yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di
dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan
pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang
sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi kemudian mencakup juga
permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun struktur yang
lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap berlangsung,
pembentukan "organisasi modern" merupakan salah satu realisasi yang penting
dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.

Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah
kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo
sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan
terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh
terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang
diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian
didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu
terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah
perkotaan.

Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan dunia
Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan
dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya beragama Islam
secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan
dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak
beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk
mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah,
maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh
dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang
ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.

Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat
dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah.
Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di
samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan
taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam
pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh
dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang
bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam
masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang
bersifat laten.

Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide
pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui
pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin
Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide
persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air
umat Islam dari kolonialisme Barat.

Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi
kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di
kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan
ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan
pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid
Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian
disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu,
ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul
Wahab dalam gerakan Al Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari
penguasa Arab Saudi sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis
sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.

Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia
pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran
maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran
agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan
sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat
Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang
menyimpang dari ajaran Islam yang murni.

Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa
karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran
di dalam masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan,
dan wayang. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles
tentang Islam di Jawa pada awal abad XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa
yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan berprilaku sesuai dengan ajaran
Islam hanya beberapa orang saja.

Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat
disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan
bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah
Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok
masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada
mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga
tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan
beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan
kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebab itu,
di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti pemahaman dan
pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di
dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga
berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam
banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di
tengah-tengah masyarakat.

Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang terpolarisasi
dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum
muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "antipembaharuan"
. Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain
disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan
perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul
sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam
pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara
keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi
sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang
Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh
unsur Islam yang sangat kental.

Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman
langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang
berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah untuk
melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh
C. Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah kolonial secara tegas
memisahkan Islam dari politik, akan tetapi Islam sebagai ajaran agama dan
kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap berada dalam pengawasan
yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam
ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran,
maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat secara umum.

Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama
tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu.
Pemerintah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam
masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan
sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik
sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan
oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang
telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa
kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti
asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai
pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan
dana yang besar dari pemerintah.

Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi tidak
menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah
seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat
pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan
lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad
Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman
Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu
besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis
dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar
agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.

Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai
5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya
anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada pendidikan
informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca
Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan
pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia
delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Menurut cerita, sejak
kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam penguasaan
ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan teman-temannya yang
sebaya.

Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan.
Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang bermain
layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang semakin
bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu agama
Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh
dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar
dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis
belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan
dan KH. Muhammad Nur.

Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu
yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika
ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai
Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan
Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia
juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang.
Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin
berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890,
beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.

Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia
seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil
Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari
Banten, maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari
selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala
baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya
jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad
Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah
dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam Ghozali dan
ilmu tasawuf.

Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca
kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca
Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia membeli
buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari
menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh
keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan untuk memperdalam ilmu
agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk
mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun
1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini
digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru
ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.

Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa'
id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara
itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu
qiruat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama
bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan
dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang
terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di
Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.

Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian
besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku
yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan
Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum,
Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah,
Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah
karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah al Hindi, Tafsshil
al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, dan
Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.

Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat dimulai
setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai
dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan
remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara
maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti
ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang-orang tua. Apabila ayahnya
berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan pelajaran sehingga
akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan terhadap kemampuan dan
pengalamannya yang luas dalam memberikan pelajaran agama Islam.

Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama
Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam


dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini
sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib
lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas
piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan
pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid besar ketika
ia sedang melakukan piket.

Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar,
seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru
ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi
masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang
sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun
untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang
sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu
malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di
sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di
surau milik keluarganya di Kauman.

Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai
kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan
kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar
pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm
di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga
mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda
tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.

Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan
yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau
tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural
berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari
untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng
Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya,
surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun
diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut
sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh
saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat
garis petunjuk di bagian dalam masjid.

Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan
Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin
berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin
belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq,
tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah
Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah.
Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi
anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus
dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian
rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu,
seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap
malam Jum`at.

Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat
dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta
dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang
sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang
sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat
di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta,
Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus,
Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu
dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang
sama-sama menjadi pedagang atau bukan.

Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam
maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara
langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan
penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks
pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat
diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad
Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat
Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian,
terutama dengan Budi Utomo.

Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui
pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di
Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo,
salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta.
Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin
Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun
pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara
resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar
tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan
pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan
kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota
biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang
komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu,
pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair,
organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas
anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam
Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara
berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.

Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam
Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang
Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang
berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model
sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat
berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa
selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.

Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas
pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering
memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai
tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat
ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai.
Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam
dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus
maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai
pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara
mereka tentang agama Islam.

Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama
Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat
sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad
Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa
Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin.
Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar
jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.

Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca Quran,
Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan
siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu
saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu
sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka
yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada
hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang
berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan
Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh
perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari
bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan
penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai
merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama
Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide
pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku
pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para
santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian
besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas
menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan
dengan tradisi dalam agama Islam.

Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per
satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya,
Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang
menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu
pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang
belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia
bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh
Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara
itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad
Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu
suren.

Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta
anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan.
Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari
masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses
belajar mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan
pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang
itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad
Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka
masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru. Seiring
dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku
satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi
20 orang.

Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus
Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan
mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas Raji
yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru di
Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah
tersebut sejak awal.

R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo
Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah sekolah
sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis. Ia
juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah
jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari Budi
Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari
kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta para siswa
Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad.

Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan
Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada
sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa
masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan
agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa
pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan
ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.

Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan
diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan,
sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan
bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga
pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan.
Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi
Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnya
ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di
samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan
arti penting suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para
pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.

Salah seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan pada
hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus
oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi supaya
sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi
terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide pembentukan organisasi
itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan orang-orang yang selama ini
telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para
anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweekschool Jetis.

Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi
ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan
Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R.
Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa
itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan,
melainkan juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat
kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang
berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah organisasi.

Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para
siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka
tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya
larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari
orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian
perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan
pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif,
melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan
masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam
proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.

Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk
mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan
organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran
agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar
organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang dalam
penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di
Kweekscbool Jetis.

Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang
berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu
diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan
Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan
berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi,
Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi
anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam
proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap
pembentukan Muhammadiyah.

Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan
setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M
atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam
kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar
pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum.
Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah
diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri
oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan
kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.

Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui
Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan
kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi
yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada
penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para
anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad
Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul
Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai
anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan
Madura yang beragama Islam.
BAB 3
PENUTUP

2.KESIMPULAN


Bahwa muhammadiyah adalah ormas islam yg di Indonesia bahkan akan memasuki dunia internasional yg didirikan oleh kh ahmad dahlan untuk membangun umat islam yg unggul di bidang manapun .dan tentu saja perjuangan muhammadiyah belum berakhir pada zaman sekarang tetapi akan menghadapi berbagai zaman . karena itu kita sebagai kader muhammadiyah harus bisa berjuang fi sabilillah .coba kita lihat kakek kita zaman dahulu yg berjuang mati matian untuk membebaskan kita dari zaman penjajahan . kita ambil dari cerita diatas tentang perjuangan kha dahlan dalam mendirikan muhammadiyah ketika Banyak yang menetang beliau tetapi tujuan beliau hanya memurnikan ajaran islam yang pada jaman dulu mengalami kebodohan karena itu walaupun kha dahlan tidak ada tetapi kita sebagai kader muhaammadiyah harus menggantikan beliau sebagai penerus muhammadiyah karena kita sebagai generasi muhammadiyah harus menjadi generasi yg lebih baik dari generasi zaman pejajahan yang membelenggu Indonesia. Dari sini kesimpulan kita sebagai kader muhammadiyah yang memegang amanah sangat besar terhadap persyarikatan tapi bukan hanya persyarikatan tapi Negara Indonesia ini yg merdeka ini .tapi bukan hanya Indonesia tapi di dunia ini kita diperintah kan oleh allah swt sebagai khalifah di muka bumi ini oleh karena itu kita sebagai manusia harus bisa memelihara bumi ini dan itu juga sebagai tugas manusia semuanya termasuk kader muhammadiyah yang akan menjadi penerus muhammadiyah yang akan datang .dengan ini setelah lebaran kita harus bisa interopeksi
Dengan apa yang kita lakukan dimuka bumi pikirkan ! dan coba renungkan inilah tugas kita .di lebaran ini kita kembali fitrah dan sadar apa yang kita perbuat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar